Rabu, 18 Maret 2009

CERPEN

Cerpen ini merupakan sebuah renuungan atau kritikan kepada teman-teman yang tak pernah mengerti akan kasih sayang seorang ibu


MAHASISWA BRENGSEK

Aku selalu tenggelam di dalam luasnya danau keikhlasan di lubuk hatinya yang terdalam. Aku selalu terjebak dalam labirin-labirin, setiap inci dari kerutan di wajahnya. Aku selalu terbuai di hamparan permadani coklat di sekujur tubuhnya akibat sengatan matahari. Aku tak dapat menebak, seberapa besar kesabaran, cinta, maaf dan perjuangan hidup yang telah dilaluinya.
Tubuh wanita tua itu berjalan ragu memasuki koridor-koridor rumah sakit didampingi suaminya. Pakaiaannya tampak biasa saja. Blus selutut menutupi dadanya yang tepos dengan tutup kepala warna hitam menutupi rambutnya yang hampir semuanya telah memutih termakan usia dan kerja keras. Tak ada parfum atau lipstick di bibirnya. Cuma sedikit polesan bedak viva yang tak merata di wajahnya.
“Na’….. bagaimana kabarnya? Sudah agak baikan?” suaranya parau bercampur isak tangis. Ia menatap sesosok tubuh anak laki-laki yang tergolek lemah di atas tempat tidur dengan berbagai selang infus, saluran pernafasan, saluran pembuangan dan gips di kaki kanannya.
Anak laki-laki itu hanya membalas senyum dengan gigi yang hampir rontok. Matanya berkaca-kaca.
“Yang sakit di bagian mana Na’?” kembali wanita itu bertanya sambil menyibak kain putih yang menutupi gips di kaki anak laki-laki itu. Tangannya membelai kening anak laki-laki itu, mengusap rambutnya dan memijit-mijit keningnya manja.
Anak laki-laki itu baru tadi pagi di rawat di Rumah Sakit Wahidin akibat patah tulang kaki kanannya. Korban tabrak lari. “sewaktu pulang dari rumah salah seorang temannya,” katanya.
Gemetar, tangan kiri anak laki-laki itu berusaha meraih tangan ibunya, menggenggamnya lama dan menciumnya dengan penuh rasa bersalah dan penyesalan yang teramat sangat. Hatinya bergejolak ingin mengucapkan seribu maaf yang telah membeku sedingin es di Antartika setelah 20 tahun tak terucapkan.
Sangat sah bagi anak itu jika menumpahkan segudang penyesalan dalam dirinya. Begitu banyak luka, penderitaan yang telah ia tinggalkan pada ibunya yang usianya kini telah beranjak 45 tahun. Sudah sewajarnya jika wanita itu menghabiskan waktu tuanya dengan beristirahat di rumah, memasak di dapur dan menunggui kepulangan kekasih hatinya dari sekolah dan hidup dengan gaji kecil suaminya sebagai bujang sekolah.
Tapi, hal itu ia tidak lakukan. Demi menyekolahkan anak laki-laki tunggalnya, ia rela membanting tulang menambah penghasilan suaminya. Ia rela tatkala suminya berangkat kerja, ia mencangkul di sawahnya, menyiangi padinya dan bahkan membajak sawahnya sendiri, bemandikan terik matahari dan peluh yang keluar di setiap pori-pori kulitnya. Dimana pekerjaan itu hanya pantas dilakukan oleh kaum laki-laki saja. Ia tidak pernah mengeluh, demi ingin melihat anaknya menyandang gelar Sarjana Bahasa Inggris S1. Meskipun ia tidak tahu S1 itu apa, dan Bahasa Inggris itu yang bagaimana. Yang ada dalam pikirannya, yang pasti anaknya sekarang sedang kuliah dan menyandang gelar “MAHASISWA”. Mm…. mahasiswa, yang membuatnya sedikit berbangga jika dibandingkan dengan dirinya yang tidak pernah bersentuhan dengan bangku sekolah dan hanya menghabiskan hari-harinya di pematang sawah bersama sapi-sapinya. Dia tidak ingin segala impian anaknya berakhir di ujung sebuah kata kemiskinan seperti pupusnya impian masa mudanya.
Di lain waktu, pernah anak laki-lakinya pulang ke kampung halamannya dengan emosi yang tak terkontrol. Dia pengen dibelikan Hp, komputer, bahkan memaksa dibelikan sebuah motor. “Ga’ gaul kalo mahasiswa tak ber-Hp dan bermotor. Apalagi cowok. Mana ada cewek yang mau.” Katanya memaksa.
Atas nama cinta anaknya, segala kemauannya dia penuhi.
Pernah suatu sore, wanita itu pulang dengan tangan yang berdarah. “Kesabet sabit,” katanya, “sewaktu mengambil rumput di salah satu sawahnya.” Setelah perjalanan panjang naik turun gunung yang melelahkan sepanjang pagi, wanita itu mengakhirinya dengan sedikit ringisan tatkala malam telah tiba sambil diurut suaminya. “Tak apa, Cuma sedikit capek kok!” katanya pada suaminya.
Di lain tempat di kota Makassar, anak laki-lakinya malah asyik keluar sampai larut malam. Uang bulanan dan SPPnya habis tergerus gemerlap lampu club-club malam. Pantas saja jika baru pertengahan bulan, dia telah mengadu kalau uang bulanannya sudah habis dan tidak cukup. “Banyak tugas,” katanya dari ujung gagang telepon.
Ironisnya, dia mulai merokok dan sesekali menenggak Chivas Regal. Benda-benda yang jahat yang telah mengubah kepribadiannya, sehingga memberi alasan mengapa kata-kata kasar dan menyakitkan sering meluncur dari mulutnya. Sesekali, dia sudah berani mengukur dan menghitung setiap inci dari lekuk-lekuk tubuh teman wanitanya sampai berakhir di sebuah kamar kos-kosan. Makassar memang hantu bergentayangan bagi mereka-mereka yang tidak dapat mengontrol nafsu dan pandangannya.
Suatu malam, selayaknya malam-malam sebelumnya, setelah pulang dari clubbing memuaskan nafsu birahinya dengan menenggak Civas Regal, anak laki-laki itu pulang dengan keadaan yang terhuyung-huyung. Mengendarai motor kreditan ibunya dengan kondisi di bawah kendali alkohol.
Di sebuah perempatan jalan, dengan gaya ala Valentino Rossi merebahkan 45 derajat badannya ke aspal. Dia tidak sadar kalau-kalau sebuah mobil truk melesat cepat ke arahnya. Kecelakaanpun tak lagi dapat dielak dan dia pun dilarikan di rumah sakit dengan kondisi kaki kanan yang remuk. Untung saja pada pagi buta itu kebetulan lewat seorang penjual sayur yang hendak membawa dagangannya ke pasar, sehingga nyawanya masih dapat tertolong.
Kejadian itu adalah sebuah drama nyata. Pancaran iba dan kasih sayang seorang ibu yang tulus bagaikan air surga yang tak pernah surut mengalir. Ia meraba dan mengusap kening anak laki-laki itu sambil bertanya tentang keadaan perkuliahan anaknya. Ia rela menempuh perjalanan panjang di atas sebuah panther demi menjemput anak semata wayangnya.
Lemah, tangan anak laki-laki itu menggenggam tangan ibunya yang kasar. Pandangannya ia lemparkan jauh-jauh di sudut ruang rumah sakit. Tak tahan melihat wajah ibunya yang menderita dan tatapan matanya yang penuh kasih sayang dan kesabaran. Dia adalah wanita terhebat yang pernah aku miliki. Dia…tak lain adalah ibuku sendiri dan anak laki-laki itu yang tergeletak tak berdaya yang hanya membuat penderitaan yang tak berujung adalah aku. Diriku sendiri.
Meskipun aku sering berbohong padanya dan melontarkan dusta berbelit-belit yang selalu hampir terbongkar di mukaku. Ia masih mencintaiku. Aku menangis di pangkuannya selama berjam-jam. Aku bertanya padanya, mengapa dia masih mencintai anak durhaka sepertiku. Ia hanya memandangku, membelai rambutku dan berkata terus terang. “Mama tak tahu,” diam sejenak lalu melanjutkan perkataannya, “mungkin penderitaan ini belum seberapa dibandingkan ibu-ibu angkat yang lain.” Darahku berdesir kencang. Tak kusangka aku adalah hanya seorang anak angkat yang tak tahu berterima kasih.
Aku adalah salah satu anak yang beruntung. Aku tak dapat berani berkata bahwa kita masih akan mendapatkan maaf dari perbuatan jahat yang kita lakukan untuk kedua kalinya dalam hidup ini. Aku tahu itu. Aku ingin meneruskan pelajaran berharga yang diberikan ibuku pada “MAHASISWA BRENGSEK” yang sedang memanfaatkan kondisi kemahasiswaannya untuk meraup untung dari kedua orang tuanya sendiri.
“Ya Allah ampunilah dosa hambamu ini dan dosa Ibu dan Bapak kami, sebagaimana dia mengasihani aku dalam suka dan duka. Aku rela tempatku disurga kupersembahkan buat kedua orang tuaku. Karena kutahu itu takkan bisa.”

Makassar, February 5, 2008
By;
Suadi S.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar